Aku dan Maut


�Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh� TQS An-Nisa� ayat 78

Kematian adalah sebuah keniscayaan bagi setiap makhluk. Seberapa hebatpun makhluk itu, seberapa kayapun makhluk itu, dan seberapa kaya pun makhluk itu, mereka akan menghadapi yang namanya kematian.

Aku jadi teringat, sebuah kisah dalam buku novel karangan Mario Puzo, yaitu The Godfather. Di awal cerita novel tersebut digambarkan bahwa penasihat dari Don Vito Corleone, pemimpin Mafia paling kaya dan kuat di Amerika, yang bernama Genco Abbandando sedang menghadapi akhir hayatnya karena serangan kanker yang mematikan. Menjelang ajalnya, ia mengemis kepada Don Vito Corleone untuk bisa bernegosiasi dengan malaikat maut supaya jangan mencabut nyawanya. Namun Don Vito Corleone tidak dapat berbuat apa-apa. Sebab, meskipun ia bisa memerintahkan kepada anak buahnya siapa yang layak hidup dan siapa yang layak mati, ia tetap tidak bisa benegosiasi dengan maut. Karena seperti itulah cara kerjanya.

Beberapa waktu ini, silih berganti aku mendapatkan kabar bahwa guru-guru yang pernah memberikanku ilmu baik di MTs maupun di SMA telah meninggal dunia. Almarhum pak Junaidi, almarhum pak Zaidin, dan yang baru ini almarhum pak Suharno. Tentu sebagai orang yang beriman, meskipun belum secara menyeluruh, ketika dihadapkan pada kabar meninggalnya seseorang akan mengingatkan aku bahwa dunia ini sementara. Semua akan kembali kepada-Nya. Lalu aku pun bertanya, aku sudah melakukan apa saja di Dunia ini?

Aku tidak akan berani berbicara mengenai ibadah, sebab aku pun mengakui, ibadahku sangat lemah. Bahkan yang wajib saja masih ada yang terlewatkan. Oleh karena aku masih lemah dalam Hablumminallah, aku coba merayu Tuhan dengan cara memperkuat Hablumminannas ku. Aku berikhtiar untuk dapat bermanfaat secara penuh dalam hubungan sesama manusia, karena aku bepegang teguh pada sabda Rasulullah S.A.W yang berbunyi ; �Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia� (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni). Namun, benarkah aku sudah bermanfaat bagi orang lain?

Pada akhirnya aku menyadari, bahwa ternyata aku masih belum bermanfaat bagi orang lain. Aku sibuk dengan duniaku sendiri, berleha-leha di kos-kosan, marathon film. Sampai-sampai tetanggaku lapar aku tidak tahu, kawanku terkena musibah aku tak ada disisinya, bahkan ROHIS SMA ku dan Himpunanku yang merupakan tempatku mencari ilmu butuh bantuan saja aku tidak bisa berbuat banyak.

Jika harimau mati meninggalkan kulit, gajah mati meninggalkan gading, dan guru meninggal meninggalkan ilmunya, lantas aku akan meninggalkan apa?

Aku berandai-andai, jika aku meninggal hari ini, siapakah yang akan menangis paling keras? Siapakah yang akan berduka paling lama? Siapakah yang akan merasa paling kehilangan? Atau jangan-jangan, tujuh hari setelah kepergianku, dunia akan kembali normal. Tak ada lagi do�a-do�a yang mengiringiku di dunia kubur, kecuali dari keluargaku. Sebab aku tak akan dikenang karena  memang tak memberikan manfaat bagi sesama. Aku takut, maka aku bermuhasabah melalui tulisan ini, untuk bisa lebih baik lagi dalam Hablumminallah dan Hablumminannas ku. Karena maut bukan perkara yang tua saja.

Wallahu�alam Bisshawab.

Diebaj Ghuroofie D.
Alumni ROHIS Al-Izzah SMAN 63 Jaksel 2015
Sekertaris Umum HMI MPO Cabang Serang

0 Response to "Aku dan Maut"

Posting Komentar